

MAKALAH
Kewirausahaan
yang dibina oleh Evi Sopiah, M.Ag.
JURUSAN
MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH

UIN
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan ke-hadirat Allah SWT, karena berkat limpahan Rahmat
dan Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini, serta tepat pada
waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “BENTUK-BENTUK
KERJA SAMA DALAM ISLAM”.
Penyusunan makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kewirausahaan.
Makalah
ini telah dibuat dengan berbagai sumber informasi yang kami cari dan beberapa
bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan
selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu, kami mengundang
pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun. Kritik
konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................ 1
1.1 Rumusan Masalah....................................................................... 1
1.2 Tujuan Masalah.......................................................................... 2
BAB 2 PEMBAHASAN................................................................... 3
2.1 Musyarokah ................................................................................ 3
2.2 Mudharabah .............................................................................. 6
2.3 Musaqah...................................................................................... 10
2.4 Mukhabarah ............................................................................... 11
2.5 Muzara’ah.................................................................................... 12
2.6 Murabahah.................................................................................. 13
BAB 3 PENUTUP ............................................................................ 16
3.1 Kesimpulan.................................................................................. 16
3.2 Saran............................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 18
BAB 1
PENDAHULUAN
Pada dasarnya,
perbedaan perbankan konvensional dengan perbankan syariah terletak pada system
yang digunakannya. Salah satunya tentang bentuk kerja sama yang diterapkan
dalam perbankan itu sendiri. Dalam perbankan syariah, terdapat beberapa bentuk
kerjasama yang berbasis Syariah. Adapun konsep atau materi kewirausahaan dalam
tulisan ini ialah gambaran mengenai fenomena fiqh muamalah yang terdapat dalam
UU No. 21 Tahun 2008.
Ada sekitar 17
konsep fiqih muamalah yang diadaptasi ke dalam UU No. 21 Tahun 2008. Ketujuh belas
(17) konsep itu ialah: wadi’ah, mudharabah, musyarakah, murabahah, salam,
istishna, qardh, ijarah, ijarah muntahiya bi al-tamlik, hawalah, kafalat,
wakalat, baitul mal, zakat, shadaqah, hibah dan wakaf. Biasanya digunakan oleh
system perbankan syariah sebagai salah satu bentuk kerja sama dalam Islam yang
ada sedikit perbedaan dengan non syariah.
Dalam permasalahan
kali ini kami akan membahas 6 dari 17 konsep kerjasama dalam Islam yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW itu seperti Musyarokah, Mudharabah, Musaqah, Mukhabarah,
Muzara’ah, Murabahah. Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah
untuk kehidupan social.
1.1 Rumusan Masalah
Dari sedikit pemaparan pendahuluan di atas,
kami merumuskan beberapa masalah dalam makalah ini, diantaranya:
1.1.1
Jelaskan
tentang kerja sama Musyarokah.
1.1.2
Jelaskan tentang kerja sama Mudharabah.
1.1.3
Jelaskan tentang kerja sama Musaqah.
1.1.4
Jelaskan tentang kerja sama Mukhabarah.
1.1.5
Jelaskan tentang kerja sama Muzara’ah.
1.1.6
Jelaskan tentang kerja sama Murabahah.
1.2 Tujuan Masalah
Tujuan masalah dari makalah ini yaitu:
1.2.1
Untuk
mengetahui kerja sama Musyarokah.
1.2.2
Untuk
mengetahui kerja sama Mudharabah.
1.2.3
Untuk
mengetahui kerja sama Musaqah.
1.2.4
Untuk
mengetahui kerja sama Mukhabarah.
1.2.5
Untuk
mengetahui kerja sama Muzara’ah.
1.2.6
Untuk
mengetahui kerja sama Murabahah.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Musyarakah
Secara
bahasa al-syirkah berarti al-ikhtilath (campur). Diartikan demikian karena
seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak bisa
dibedakan dan dipisahkan antara yang satu dan yang lain. Makna ini menunjukkan
bahwa dua orang atau lebih bersekutu dalam mengumpulkan modal guna membiayai
suatu investasi. Disini, bank yang memberikan fasilitas musyarakah kepada
nasabah ikut berpartisipasi (take a part)
dalam suatu proyek yang baru atau dalam suatu perusahaan yang telah berdiri
dengan cara membeli saham dari perusahaan tersebut.
Definisi
al-syirkah menurut para ulama aliran fiqih ini diakomodir oleh fatwa DSN MUI.
Fatwa, dalam kaitannya dengan pembiayaan, mengartikan al-syirkah dengan,
“Pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai
kesepakatan”. Pengertian ini dijadikan landasan oleh UU No. 21 Tahun 2008 dalam
mendefinisikan al-syirkah secara operasional dan akan diuraikan kemudian.
Al-Musyarakah
atau partnership project financing
participation atau equity
participation merupakan salah satu instrument yang dipergunakan oleh
perbankan syariah untuk menyediakan pembiayaan. Dalam bahasa Indonesia, ia
diterjemahkan dengan kemitraan atau persekutuan atau perkongsian, dan dalam
ranah ilmu ekonomi, ia terkait dengan teori percampuran (theory og venture).
Landasan
hukum Al-Syirkah ialah Q.S An-Nisa: 12 dan Q.S Shad: 24 dan hadits riwayat Abu
Dawid dari Abu Hurairah serta disahkan oleh al-Hakim. (Hakim, 2011:246)
Syirkah hukumnya ja’iz atau mubah, berdasarkan dalil Hadis Nabi SAW. Berupa taqrir / pengakuan beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai
Nabi, masyarakat pada zaman itu telah bermuamalah dengan cara ber-syarikah dan Nabi membenarkannya. Nabi
SAW bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah RA : “Allah Azza Wa Jalla
telah berfirman : AKU adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syarikah selama salah satunya tidak
menghianati yang lainnya. Jika salah satunya berkhianat, aku keluar dari
keduanya” (HR.Imam Daruquthni dari Abu Hurairah r.a).
Adapun syarat syirkah adalah :
a)
Ucapan, tidak ada bentuk khusus dari kontrak syirkah. Ia dapat berbentuk ucapan yang menunjukkan tujuan dan juga
bisa berbentuk tulisan serta dicatat dan disaksikan bila mengadakan kontrak syirkah.
b)
Pihak yang berkontrak, disyaratkan bahwa mitra harus kompeten dalam memberikan
atau diberikan kekuasaan perwakilan.
c)
Obyek kontrak, yaitu dana dan kerja.
Secara umum, al-Syirkah dibedakan menjadi 2:
(1)
Syirkah al-amlak (kepemilikan)
Adalah
dua orang atau lebih memiliki harta secara bersama-sama tanpa akad syirkah.
Dari sisi sifat, syirkah kepemilikan terbagi 2:
-
Syirkah milik yang bersifat
pilihan (ikhtiyariyah), seperti pemberian (hibah) rumah dari seorang pengusaha
kepada dua orang karyawannya; rumah tersebut menjadi milik kedua karyawan
secara bersama-sama
-
Syirkah yang bersifat paksaan
(jabariyah), seperti dua orang anak menerima warisan dari orangtuanya.
Dalam syirkah kepemilikan, salah satu pihak pemilik tidak
diperkenankan mengelola harta, karena di antara mereka tidak terikat akad
syirkah, keduanya seolah-seolah orang asing yang tidak saling mengenal.
Pengelolaan oleh salah satu pihak bisa dilakukan apabila pihak pemilik lainnya
mengizinkan. (Hakim, 2011:247)
(2)
Syirkah al-uqud (akad atau transaksi)
Ialah
akad kerjasama antara dua orang atau lebih dalam mengelola harta resiko, baik
keuntungan maupun kerugian ditanggung bersama. Pembagian secara umum dianut
ialah:
a) Syirkah Inan.
Syirkah Inan adalah kerjasama atau percampuran dana antara dua pihak
atau lebih dengan porsi dana yang tidak harus sama. Dimana setiap pihak
memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja, kedua
pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati antara
mereka, akan tetapi porsi masing masing pihak, baik dalam dana maupun kerja
atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.
Dalam syirkah ini,
disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqud),
sedangkan barang (urudh), misalnya
rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qimah al- “urudh) pada saat akad.
b) Syirkah Abdan.
Syirkah Abdan adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih yang masing masing hanya memberikan kontribusi
kerja (amal), tanpa kontribusi modal
(maal). Kontribusi kerja itu dapat
berupa kerja pikiran maupun kerja fisik. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian,
tetapi boleh berbeda profesi.
c)
Syirkah Mudharabah.
Al Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (shohibul maal) menyediakan
seluruh modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola.
d) Syirkah Wujuh.
Syirkah wujuh disebut juga syirkah
‘ala adz-dzimam. Disebut syirkah
wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masayarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B)
yang sama sama memberikan kontribusi kerja (‘amal) dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan kontribusi
modal (maal).
Dalam hal ini, pihak A dan pihak B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini, hakikatnya termasuk
dalam syirkah mudaharabah sehingga
berlaku ketentuan ketentuan syirkah mudharabah
padanya.
Bentuk kedua dari syirkah
wujuh adalah syirkah antara dua
pihak atau lebih yang bersyarikah dalam barang yang mereka beli secara kredit,
atas dasar kepercayaan perdagangan kepada keduanya, tanpa kontribusi modal dari
masing masing pihak.
e) Syirkah Mufawwadah.
Syirkah mufawwadah adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah diatas (syirkah inan,
abdan, mudharabah, dan wujuh). Syirkah mufawadah dalam pengertian ini,
menurut An Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika
digabungkan dengan jenis syirkah
lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan,
sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai dengan porsi
modal (jika berupa syirkah inan),
atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah
mudharabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase
barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah
wujuh).
Fatwa DSN MUI tentang
musyarakah bernomor 08 ditetapkan pada tanggal 13 April 2000 di Jakarta. Fatwa
ini memuat aturan musyarakah, seperti pernyataan ijab qabul, para pihak yang
berkontrak, obyek akad (modal, kerja, dan keuntungan serta kerugian), serta
biaya operasional.(249)
2.2 Mudharabah
Al-mudharabah berasal dari
kata “al-dharb” yang berarti al-safar (perjalanan), al-mitsl (seimbang), dan
al-shinf (bagian). Makna secara bahasa yang berbeda ditawarkan oleh Abd
Al-Rahman al-Juzairi, yaitu penyerahan harta milik oleh seseorang kepada
oranglain untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi dua sementara kerugian
(jika ada) ditanggung oleh pemilik
harta. Pengertian Al-Mudharabah secara terminology dikemukakan oleh para ulama
fiqih dengan redaksi yang berbeda-beda meskipun substansinya sama. Ulama
Hanafiah menjelaskan, mudharabah termasuk perkongsian dalam keuntungan, dan
dengan demikian, ia adalah akad perkongsian keuntungan atas harta yang
diberikan oleh pemilik modal kepada pelaku usaha. Menurut fuqaha lain,
mudharabah ialah akad penyerahan modal dari pemilik kepada pengusaha untuk
diperdagangkan dan keuntungan dibagi dua sesuai kesepakatan. (Hakim, 2011:213)
Al-Mudharabah atau
al-qiradh menurut ketetapan fatwa DSN MUI ialah akad kerjasama suatu usaha
antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahibul mal, LKS) menyediakan
seluruh modal, sedang pihak kedua (amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku
pengelola dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak. (Hakim, 2011:214)
Khusus tentang mudharabah,
iapun dipergunakan sebagai akad dalam penyaluran dana atau pembiayaan. (Hakim,
2011:202)
Akad mudharabah menurut UU
No. 21 Tahun 2008 merupakan akad yang dipergunakan oleh Bank Syariah, UUS, dan
BPRS tidak hanya untuk kegiatan menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa
deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu, tetapi juga
untuk kegiatan menyalurkan pembiayaan bagi hasil, proses membeli dan menjual
atau menjamin atas resiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan
atas dasar transaksi nyata. Khusus bagi BPRS, mudharabah dapat juga digunakan
sebagai landasan akad untuk menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam
bentuk investasi. (UU No. 21 Tahun 2008, Pasal 19 ayat 1 dan 2 huruf b, c dan
I, dan pasal 21 huruf a angka 2 dan huruf b angka 1, serta huruf c. (Hakim,
2011:212)).
Secara
umum landasan syariah al mudharabah
lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat ayat Al Qur’an
surat Al Baqarah ayat 198 sebagai berikut :

Artinya :
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki
hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah,
berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut)
Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum
itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Keuntungan usaha
secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
namun apabila mengalami kerugian, maka ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu
diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan, maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60 : 40, di mana pengelola mendapatkan 60 % dari keuntungan sedang pemilik modal mendapat 40 % dari keuntungan.
Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan, maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60 : 40, di mana pengelola mendapatkan 60 % dari keuntungan sedang pemilik modal mendapat 40 % dari keuntungan.
Pembagian Mudharabah:
(1)
Mudharabah Mutlaqah (investasi
tidak terikat), yaitu mudharabah yang jangkauannya luas. Transaksi ini tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan wilayah bisnis. Disini shahib
al-mal memberikan keleluasan kepada
nudharib untuk melakukan usaha sesuai dengan kehendaknya, tetapi sejalan dengan
prinsip syariah, dengan modal yang diberikan kepadanya. Pada usaha perbankan
syariah, mudharabah bentuk ini diaplikasikan pada tabungan dan deposito.
(2)
Mudharabah Muqayyadah, yaitu
kebalikan dari jenis mudharabah yang pertama. Dalam mudharabah jenis ini,
mudharib terikat oleh persyaratan yang diberikan oleh shahib al-mal di dalam
meniagakan modal yang dipercayakan kepadanya. Persyaratan bias berupa jenis
usaha, tenggang waktu melakukan usaha, dan atau wilayah niaga. (Hakim,
2011:215)
(3)
Mudharabah Musytarakah, yaitu
bentuk mudharabah di mana pengelola dana menyertakan modal atau danaya dalam
kerja sama investasi. Akad mustarakah ini merupakan solusi sekiranya dalam
perjalana usaha, pengeloala dana memiliki modal yang dapat di kontribusikan
dalam investasi, sedangkan di lain sisi adanya penambahan modal ini akan dapat
meningkatkan kemajuan investasi. Akad mustarakah ini pada dasarnya merupakan
perpaduan antara akad mudharabah dan akad musyarakah. Dalam mudharabah
musytarakah, pengelola dana berdasarkan akad (mudharabah) menyertakan juga
dananya dalam investasi bersama (berdasarkan akad musytarakah). Setelah
penambahan dana oleh pengelola, pembagian hasil usaha antara pengelola dana dan
pemilik dana dalam mudharabah adalah sebesar hasil usha musytarakah setelah
dikurangi porsi pemilik dana sebagai pemilik dana musyarakah.
(4)
Skema Mudharabah Mustarakah

Nasabah penghimpun bank berperan
sebagai mudharib, sedangkan nasabah penyaluran bank beperan sebegai pemilik
dana. Pada saat yang sama, bank melakukan kerja sama dengan investor lain untuk
membiayai suatu proyek yang dikerjakan oleh nasabah pengelola. Investor lain
yang telibat dalam kerja sama ini memililki dana. Bank dan investor memproleh
pendapatan dari posisi sebagai pemilik dana (berbagi sesuai porsi
masing-masing). Selanjutnya, pendapatan hak bank tersebut dihasilkan lagi
dengan nasbah deposan pool of found.
2.3
Musaqah
Al musaqah adalah bentuk yang
lebih sederhana dari muzaraah, dimana
si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai
imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasi panen.
Musaqah adalah bentuk
kerja sama antara pemilik kebun dengan penggarap kebun dengan perjanjian bagi
hasil (production sharing). Jumlah ditentukan sesuai dengan kesepakaan pada
waktu berlangsung akad.
Adapun rukun
musaqah, antara lain :
perlu ditetapkan masa
berlakunya perjanjian masaqah, sekurang-kurangnya ditentukan menurut waktu
kegiatan panen;
pada saat berlangsungnya
akad, harus ditentukan dengan rinci cara pembagian hasilya;
pemilik kebun dan penggarap
kebun harus berakal, balig dan merdeka.
Musaqah mempunyai mafaat
tolong-menolong yang saling menguntungkan. Banyak orang yang memiliki kebun
yang halus, tetapi tidak terurus. Sebaliknya, banyak orang mempunyai keahlian,
tetapi menganggur karena tidak mempunyai lahan. Dengan musaqah, keduanya dapat
dikombinasikan sehingga sama-sama mendapatkan keuntungan.
Musaqah juga salah satu cara untuk meratakan penghasilan dan
upaya membantu program pengentasan kemiskinan yang di negeri ini didominasi
oleh kaum muslimin.
Nabi Muhammad saw. Sendiri pernah melakukan sistem itu,
sebagaimana sabdanya berikut.
Artinya:
Dari Ibnu Umar, Sesungguhnya Nabi Muhammad saw, telah
menyerahkan kebunnya kepada penduduk Khaibar untuk dipelihara dengan perjanjian
merdeka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan atau
dari hasil palawija. (H.R.Muslim)
Menurut ulama ahli fikih, yang dimaksud dengan musaqah
adalah kerjasama antara pemilik kebun dan petani di mana sang pemilik kebun
menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya nanti akan dibagi
dua menurut prosentase yang ditentukan pada waktu akad.
Konsep musaqah merupakan konsep kerjasama yang saling
menguntungkan antara kedua belah pihak (simbiosis mutualisme). Sebab tidak
jarang para pemilik lahan tidak memiliki waktu luang untuk merawat
perkebunannya, sementara di pihak lain ada petani yang memiliki banyak waktu
luang namun tidak memiliki lahan yang bisa digarap. Dengan adanya sistem
kerjasama musiqah, masing- masing pihak akan sama- sama mendapatkan manfaat.
2.4
Mukhabarah
Mukhabarah ialah
kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di
mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan atau mengerjakan tanah (orang
lain)seperti sawah atau lading dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua,
seprtiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengrjaan dan benihnya ditanggung
orang yang mengerjakan.
Zakat Mukhabarah
Zakat
diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam,
petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak
wajib dibayar zakatnya dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.
Hikmah Mukhabarah
·
Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara
pemilik tanah dengan petani penggarap.
·
Meningkatnya kesejahteraan rakyat.
·
Tertanggulanginya kemiskinan.
·
Terbukanya lapangan pekejaan, terutama bagi petani yang
memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garap.
2.5
Muzara’ah
Al Muzaraah adalah kerjasama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan
dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan memberikan lahan pertaniannya
kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu
dari hasil panen.
Al muzaraah seringkali diidentikkan dengan mukhabarah, padahal diantara keduanya terdapat perbedaan :
Muzaraah : benih dari
pemilik lahan.
Muhabarah : benih dari
penggarap.
Muzaraah adalah bentuk kerjasama antara pemilik tanah
(sawah/lading) dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil menurut
kesepakatan pada waktu akad, sedangkan benih atau bibitnya dari peggarap tanah.
Jika benihnya berasal dari pemilik tanah, disebut mukhabarah.
Muzara’ah adalah
kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di
mana benih tanamannya berasal dari petani. Muzara’ah memang sering kali
diidentikkan dengan mukhabarah. Namun demikian, keduanya sebenarnya memiliki
sedikit perbedaan. Apabila muzara’ah, maka benihnya berasal dari petani
penggarap, sedangkan mukhabarah benihnya berasal dari pemilik lahan.
Zakat Muzara’ah
Zakat
hasil paroan sawah atau lading ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi
pada muzara’ah zakatnya wajib atas petani yang bekerja karena pada hakekatnya
dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya,
sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan.
Hikmah Muzara’ah
·
Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara
pemilik tanah dengan petani penggarap.
·
Meningkatnya kesejahteraan rakyat.
·
Tertanggulanginya kemiskinan.
·
Terbukanya lapangan pekejaan, terutama bagi petani yang
memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garap.
2.6
Murabahah
Murabahah adalah
akad jual beli barang dengan harag jual sebesar biaya perolehan ditamabah
keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan
barang tersebut kepada pembeli (PSAK 102 paragraf 5). Definisi ini menunjukan
bahwa transaksi nmurabahah yodak harus dalam bentuk pembayaran tangguh
(kredit), melainkan dapat dalam bentuk tunai setelah menerima barang,
ditangguhkan dengan mencicil setelah menerima barang, ataupun ditangguhkan
dengan membayar sekaligus dikemudian hari (PSAK 102 paragraf 8). Transksi
murabahah, kendati memliki fleksibilitas dalam hal waktu pembyaran, dalam
praktik perbankan di Indonesia adalah tidak umum menggunakan skema pembayaran
langsung setelah barang diterima oleh pembeli atau (nasabah). Praktik paling
banyak digunakan adalah skema pembayaran dengan mencicil setelah menerima
barang. Adpaun praktik dengan pembayaran sekaligus setelkah ditangguhkan
beberapa lama, diterapkan secara slektif pada nasabah pembiayaan dengan
karakteristik penerimaan pendapatan musiman, seperti nasabah yang memiliki
usaha pemasok barang dengan pembeli yang membayar secara periodik.
Pembolehan
penggunaan murabahah didasarkan pada al-quran surat al-baqarah:275 yang
menyatakan bahwa Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengaramkan Riba. Ayatnya
berbunyi:

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Selain itu, adapun
hadist yang diriwayatkan oleh ibnu majjah. Ketentua syar’i terkait dengan
transaksi murahabahah, digariskan oleh Fatwa dewan syariah nasional nomor
04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa tesebut membahas tentang ketentuan umum nmurabahah
dalam bank syariah, ketentuan murabahah kepada nasabah, jaminan, utang dalam
murabahah, penundaan pembayaran, dan kondisi bangkrut pada nasabah murabahah.
Secara spesifik, ketentuan syar’I tersebut akan dibahas pada bgaian rukun
transaksi murabahah. (Yaya, 2009:180)
Rukun transaksi Murabahah.
Rukun transaksi Murabahah
meliputi taransaktor, yaitu adanya pembeli (nasabah) dan penjual (bank
syariah), objek akada murabahah yang didalamnya terkandung barang dan harga,
serta ijab dan qobul berupa pernyataan kehendak masing-masing pihak, baik dalam
bentuk ucapan maupun perbuatan.
Objek Murabahah.
Rukun
objek akad transaksi murabahah meliputi barang dan harga barang yang diperjual
belikan. (Yaya, 2009:181). Terkait dengan barang, fatwa DSN nomor 4 menyatakan
bahwa dalam jualk beli murabahah, barang yang diperjualk belikan bukanlah
barang yang diharamkan oleh syriah islam. DSN mensyaratkan bank membeli barang
yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan harus menyampaikan semua hal
yang berkaitan dengan pembelian kepada nasabah, misalnya jika pembelian dilakukan
secara utang. (Yaya, 2009:182)
Murabahah, yaitu
suatu istilah dalam fikih Islam yang menggambarkan suatu jenis penjualan di
mana penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk, dengan
ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi. Di sini, penjual
mengungkapkan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang
hendak diambilnya. Pembayaran dapat dilakukan saat penyerahan barang atau
ditetapkan pada tanggal tertentu yang disepakati. Dalam hal ini, bank
membelikan atau menyedia¬kan barang yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi
dan bank meminta tambahan harga atas harga pembeliannya. Namun demikian, pihak
bank harus secara jujur menginformasikan harga pembelian yang sebenarnya.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk kerja sama dalam Islam banyak
jenisnya diantaranya:
·
al-syirkah yaitu bahwa ia
adalah suatu transaksi antara dua orang atau lebih. Transaksi ini meliputi
pengumpulan modal dan penggunaan modal. Keuntungan dan kerugian ditanggung
bersama sesuai kesepakatan. Namun demikian, modal tidak selalu berbentuk uang tapi bisa bentuk lain, seperti
terlihat dalam pembahasan mengenai jenis dan pembagian syirkah kemudian.
·
Al-Mudharabah atau al-qiradh menurut
ketetapan fatwa DSN MUI ialah akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di
mana pihak pertama (malik, shahibul mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang
pihak kedua (amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola dan keuntungan
usaha dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
(Hakim, 2011:214)
·
Al musaqah adalah bentuk
yang lebih sederhana dari muzaraah,
dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasi panen.
·
Mukhabarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara
pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari
pemilik lahan atau mengerjakan tanah (orang lain)seperti sawah atau lading dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, seprtiga atau seperempat).
·
Al Muzaraah adalah kerjasama
pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan
memberikan memberikan lahan pertaniannya kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara
dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen.
·
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harag jual
sebesar biaya perolehan ditamabah keuntungan yang disepakati dan penjual harus
mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli (PSAK 102 paragraf
5).
3.2 Saran
Makalah ini jauh
dari kesempurnaan, oleh karena itu kami memerlukan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Semoga apa yang kami tulis dapat menambah
pengetahuan dan memberi manfaat, khususnya untuk kami dan umumnya untuk para
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Farid, M. 2010. Kerja sama dalam
Islam. [diakses pada tanggal 19 Nopember 2014 di http://faridmuhikra.blogspot.com/]
Hakim, Atang Abd. 2011. Fiqih Perbankan Syariah. Bandung: PT Refika Aditama.
Khaerul,
Andi. 2012. Kerjasama ekonomi dalam Islam.
[diakses pada tanggal 19 Nopember 2014
di http://andikhaerul.blogspot.com/]
Yaya, Rizal,
dkk. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah.
Jakarta: Salemba Empat.