Wednesday, 19 November 2014

makalah jabariyah qadariyah



MAKALAH
JABARIYAH DAN QADARIYAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah Ilmu Tauhid
yang dibina oleh :
H. Yana Sutiana, M.Ag








Disusun oleh Kelompok  4  :
Agnia ulfiah
Anellia putri
Anggiani dyah chandra
Asep Rahman
Bella saftariani
Cef Aziz Muslim
Cepy Wildan Anwar
1133070006
1133070023
1133070021
1133070027
1133070035
1133070037
1133070039

MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH I A
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rohmat, taufik,  hidayah serta inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini yaitu membuat makalah dengan judul “Jabariyah dan Qadariyah” yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tauhid.
Pada kesempatan ini tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Bapak Yana Sutiana selaku dosen “Ilmu Tauhid” yang telah memberikan tugas yang bermanfaat kepada kami. Terima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung penyelesaian makalah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak guna kesempurnaan makalah berikutnya.










DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
A.    Latar Belakang .........................................................................................
B.     Rumusan Masalah ....................................................................................
C.     Tujuan .......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................
A.    Pengertian Jabariyyah dan Qadariyyah.....................................................
B.     Latar Belakang Kemunculan Jabariyyah dan Qadariyyah .......................
C.     Doktrin-Doktrin Jabariyyah dan Qadariyyah ...........................................
D.    Sekte-Sekte Jabariyyah dan Qadariyyah ..................................................
BAB III PENUTUP .....................................................................................
A.    Kesimpulan ...............................................................................................
B.     Saran .........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................






BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut Islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imānī mulai dipertanyakan dan dianalisa.
 Al-Syahrastānī menyebutkan beberapa prinsip yang merupakan dasar bagi pembagian aliran teologi dalam Islam. Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ‘ilmu al-kalām yakni berkenaan dengan qadar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama kalam membicarakan masalah qada’ dan qadar, dan hal itu mendorong mereka untuk membicarakan asas taklif, pahala dan siksa, mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan manusia.

B.  Rumusan Masalah
 Agar pembahasan makalah terarah dan tidak adanya kesalahan interpretasi, maka penulis membatasi masalah yang diteliti sabagai berikut :
1.      Apa Pengertian Jabariyyah dan Qadariyyah?
2.      Bagaimanakah latar belakang  kemunculan  Jabariyyah dan Qadariyyah ?
3.      Bagaimana  doktrin-doktrin Jabariyyah dan Qadariyyah?
4.      Bagaimana Sekte-sekte Jabariyyah dan Qadariyyah?


C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui Pengertian Jabariyyah dan Qadariyyah
2.      Untuk mengetahui Latar Belakang kemunculan dari Jabariyyah dan Qadariyyah.
3.      Untuk mengetahui Doktrin-doktrin dari Jabariyyah dan Qadariyyah.
4.      Untuk mengetahui Sekte-sekte dari Jabariyyah dan Qadariyyah.















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Jabariyyah dan Qadariyyah
Istilah Qadariyah mengandung dua arti, pertama, orang-orang yang memandang manusia berkuasa atas perbuatannya dan bebas untuk berbuat. Dalam arti ini Qadariyah berasal dari kata qadara artinya berkuasa. Kedua, orang-orang yang memandang nasib manusia telah ditentukan aleh azal. Dengan demikian, qadara di sini berarti menentukan, yaitu ketentuan Tuhan atau nasib.
Qadariyah adalah satu aliran dalam teologi Islam yang berpendirian bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri intuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya , dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Dalam istilah inggris paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
Dengan paham tersebut, mereka beranggapan bahwa setiap aktifitas manusia adalah semata-mata keinginannya sendiri, yang terlepas dari kehendak Allah. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim setingkat meniadakan qadar atau ketetapan Allah yang azali atas segala sesuatu sebelum terjadi. Sehingga setiap pekerjaan berasal dari manusia sendiri, tidak bisa disandarkan pada Allah baik dari segi penciptaan maupun penetapan. Menurut mereka manusia bebas dan bisa memilih apa saja yang akan dikerjakan atau ditinggalkan, tidak ada seorang pun yang memiliki kuasa atas kemauannya , dia bisa berpindah kapan pun dia mau, dia bisa beriman atau kafir jika mau dan mengerjakan apa saja yang diinginkannya. Karena kalau tidak, maka dia bagaikan sebuah alat atau seperti halnya dengan benda-benda mati lainnya. Sehingga asas taklif atau pemberian tanggung jawab, pemberian pahala dan siksa tidak ada gunanya. Dengan perkataan lain, mereka berpendapat manusia itu bebas menentukan diri sendiri memilih beramal baik dan buruk, karena mereka harus memikul resiko, dosa kalau berbuat munkar dan berpahala jika berbuat baik dan taat.
Sedangkan nama Jabariyah berasal dari kata Arab jabara yang berarti alzama hu bi fi’lih, yaitu berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya. Manusia tidak mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan. Sebaliknya ia terpaksa melakukan kehendak atau perbuatannya sebagaimana telah ditetapkan Tuhan sejak zaman azali. Dalam filsafat Barat aliran ini desebut Fatalism atau Predestination.
Paham Jabariyah ini berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan yang berlaku bagi segenap alam semesta ini, tidaklah memberi ruang atau peluang bagi adanya kebebasan manusia untuk berkehendak dan berbuat menurut kehendaknya. Paham ini menganggap semua takdir itu dari Allah. Oleh karena itu menurut mereka, seseorang menjadi kafir atau muslim adalah atas kehendak Allah.

B.     Latar Belakang Kemunculan
Munculnya kedua paham ini tetap mempunyai kaitan dengan aliran-aliran Kalam sebelumnya yakni Khawārij dan Murji’ah, sementara itu muncul dalam sejarah teologi Islam seorang bernama Washil bin ‘Atha’ yang lahir di Madinah di tahun 700 M dan mendirikan aliran teologi baru yang berbeda dengan kedua aliran teologi sebelumnya yang dikenal dengan nama Mu’tazilah. Pada masa inilah umat Islam telah banyak mempunyai kontak dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sebagai akibat dari kontak ini masuklah ke dalam Islam paham Qadariyah (free will dan free act) dan paham Jabariyah atau fatalisme.
 Tak dapat diketahui dengan pasti kapan paham Qadariyah ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi Islam. Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi Islam, bahwa golongan ini dimunculkan pertama kali dalam Islam oleh Ma’bad al-Juhany di Bashrah. Dikatakan bahwa yang pertama kali berbicara dan berdebat masalah qadar adalah seorang Nasrani yang masuk Islam di Irak. Kemudian darinyalah paham ini diambil oleh Ma’bad al-Juhany dan temannya Ghailān al-Dimasyqi. Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua setelah Nabi. Tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak ‘Abd al-Rahmān Ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Ma’bad al-Juhany akhirnya mati terbunuh dalam pertempuran melawan al-Hajjaj tahun 80 H.
      Paham Qadariyah yang muncul sekitar tahun 70 H (689 M) ini memiliki ajaran yang sama dengan Mu’tazilah. Yaitu bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya sendiri. Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar. Ma’bad al-Juhany sebagai tokoh utama paham Qadariyah yang menyebarkan paham Qadariyah di Irak ini juga berguru dengan Hasan al-Bashri yang juga merupakan guru Wāshil bin ‘Atha’ pendiri aliran Mu’tazilah.
      Paham free will dan free act beranggapan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak (qudrah) dan memilih atau berkehendak (irādah). Dia yang melekukan, dia pula yang bertanggung jawab di hadapan Allah. Dari segi politik, Qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti Bani Umayyah, sebab dengan paham yang disebarluaskannya dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham itu maka setiap tindakan bani Umayyah yang negatif, akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Karena kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, walaupun ditekan terus oleh pemerintahan tetapi ia tetap berkembang. Paham ini tertampung dalam madzhab Mu’tazilah.
      Sepeninggal Ma’bad al-Juhany, Ghailān al-Dimasyqi sendiri terus menyiarkan paham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi di sana dia mendapat tekanan dari Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azīz (717-720 M). Setelah ‘Umar wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama, hingga akhirnya ia mati dihukum oleh Hisyam bin ‘Abdul malik (724-743 M/105-125 H). Ghailān mengembangkan ajaran Qadariyah sempai ke Iran.
 Adapun aliran sebaliknya, yaitu dikenal dengan paham Jabariyah sebagai antitesa dari paham Qadariyah. Paham Jabariyah ini lahir bersamaan dengan dikembangkannya paham Qadariyah oleh pengikut-pengikutnya setelah kedua tokoh paham free will ini wafat. Di dalam buku Sarh al-‘Uyūn dikatakan bahwa paham Jabariyah ini berakar dari orang-orang Yahudi di Syām, lalu mereka mengajarkannya kepada sebagian orang muslim saat itu, setelah mempelajarinya kemudian mereka menyebarkannya. Tetapi perkataan ini tidak berarti bahwa paham ini semata-mata berakar dari Yahudi saja, karena orang Persia juga telah mengenal pemikiran tersebut sebelumnya.
 Golongan muslim yang pertama kali memperkenalkan paham Jabariyah ini adalah al-Ja’d bin Dirham, tetapi waktu itu belum begitu berkembang. Kemudian Jahm bin Shafwān dari Khurāsān mempelajari paham ini dari al-Ja’d bin Dirham yang kemudian menyebar luaskannya. Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm yang mendirikan aliran al-Jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah. Sehingga paham Jabariyah juga identik dengan sebutan Jahmiyyah karena berkembang setelah disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwān. Sebagai sekretaris Syurayh ibn al-Hārits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan tersebut Jahm ditangkap dan dihukum mati tahun 131H.
 Perbedaan pandangan dan persepsi kedua paham ini juga dipergunakan oleh budaya politik sesuatu tempat dan keadaan. Golongan Murji’ah menganggap bahwa penderitaan rakyat di satu pihak dan kekejaman penguasa di pihak lain itu adalah sudah takdirnya demikian, seperti dinyatakan oleh Yāzid bin Mu’āwiyah waktu dia menerima kepala Sayidinā Husain bin ‘Abi Thālib dibawa kepadanya dia berkata dan langsung menyitir ayat alquran QS. Ali ‘Imrān(3) ayat 26. Dengan mengemukakan ayat ini, Yāzid bermaksud mengatakan bahwa apa yang diderita oleh Husain bin ‘Ali yang dibunuh dengan kejam oleh serdadu Yāzid bin Mu’āwiyah dari dinasti Umayyah itu, adalah sudah kehendak Tuhan, bukan kehendak Yāzid dan serdadunya. Agar umat yang mendukung Husain tidak marah atau dendam, karena itu “takdir” Tuhan semata-mata. Inilah ajaran Murji’ah yang sangat laku, di negeri yang dikuasai diktator despoot dan tirani. Hal ini ditentang oleh golongan Qadariyah, karena mereka menganggap bahwa tirani kekejaman dan penindasan oleh manusia atas manusia itu harus dilawan karena bertentangan dengan hukum Tuhan. Dan penguasa yang tiran harus ditumbangkan, karena Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

C.     Doktrin-doktrin Jabariyyah dan Qadariyyah

1.      Doktrin  Ajaran Jabariyyah

Menurut Asy- Syahrastani, Jabariyyah itu dapat dikelompokkan kedalam  dua bagian  Yaitu ekstrem (segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan  yang timbul dari kemauannya, melainkan  perbuatan  yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya mencuri, perbuatan  mencuri itu bukan  terjadi atas kehendak sendiri melainkan karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian dan moderat.
a)      Al-Jahmiyah
Aliran  jabariyyah  oleh Al- Syahrastani  menyebutnya dengan istilah sebut al-jabariyyah al khalish. Pendirinya adalah  Jahm Ibn shafwan (124 H). Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shofwan. Ia berasal  dari Khurasan dan bertempat tinggal di Kufah. Ia seorang dai yang fasih dan lincah (orator) yang termasuk seorang mawali yang menentang pemerintah bani Umayyah,  ia ditawan kemudian di bunuh oleh Muslim Ibn ahwas almazini pada akhir dinasti khalifah bani Umayyah. Alirannya  ini tersebar di Tirmiz dan di Balk.
Dia  dianggap sebagai pengikut jabariyyah  murni.  Aliran Jahmiyyah ini tidak menetapkan perbuatan atau kekuasaan sedikitpun.  Seluruh tindakbahan tidak boleh terlepas dari aturan, skenario dan kehendak Tuhan. Segala akibat baik atau buruk  yang diterima  oleh manusia perjalanan hidupnya  adalah  merupakan ketentuan dari  Allah SWT. Namun ada kecenderungan  bahwa Tuhan  lebih memperlihatkan  sikapnya yang mutlak /absolut dan berbuat sekehendak-Nya. Hal inilah bisa menimbulkan kesan  seolah-olah Allah tidak adil  jika ia menyiksa orang-orang yang berbuat dosa yang dilakukan orang itu terjadi atas Tuhan.  Berikut  doktrin ajarannya:
1)      Menurut  jaham bin  ahwas  manusia dalam  paham jabariyyah sangat lemah  tidak berdaya .terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak mempunyai kehendak  dan kemauan bebas sebagaimana yang dimiliki oleh paham jabariyyah. Pendapat  Jahm tentang keterpaksaan  lebih terkenal dibandingkan  pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep Iman, kalam tuhan, meniadakan  sifat Tuhan ( Nafyu as-Sifat)  dan melihat Tuhan  di akhirat.
2)      Surga dan neraka tidak kekal.  Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3)      Iman dan ma’rifat atau membenarkan  dalam hati. Dalam  hal ini pendapatnya sama dengan  konsep iman yang diajukan oleh Murji’ah.
4)      kalam Tuhan adalah Makhluk. Allah  Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan Manusia, sperti berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu pula  Tuhan tidak dapat dilihat dengan indra mata diakhirat kelak.
Dengan demikian dalam beberapa hal,Jahm berpendapat serupa dengan  Murjiah,Mu’tazilah dan Asy’ariah  sehingga para pengkritik dan sejarawan menyebutnya  dengan Al-Mu’tazili,Al-Murji’idan Al-Asy’ari.
b)     Ja’d  bin Dirham
Ja’d adalah  seorang maulana Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan dalam lingkungan  orang Kristen yang senang membicaraka teologi. Dan telah dipercaya mengajar dilingkungan  Bani Umayyah namun setelah pikirannya-pikirannya yang kontraversial terlihat Bani Umayyah menolaknya. Kemudian dia pergi ke Kufah  dan bertemu  dengan jahm, yang akhirnya  berhasil mentransfer  pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan di sebarluaskan. Doktrin ja’d secara umum sama dengan Jahm.  Al Ghurabi menjelaskannya sebagai berikut.
a) Al-Qur’an  itu makhluk. Oleh karena itu, dia baru (huduts), Sesuatu yang baru tidak dapat disifatkan  kepada Allah SWT.
b) Allah tidak mempunyai sifat yang  serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
c) Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya. Manusia bagaikan selembar bulu yang diterbangkan angin, mengikuti takdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati.
d) Tidak mengakui adanya sebab akibat  diantara segala sesuatu terutama manusia dan perbuatanya serta kepribadiannya secara spiritual  dan moral. Entah masa depannya  bahagia atau sengsara.
c)      An-Najariyyah
Pendiri  aliran  ini diberi  istilah  yaitu  al-jabariyyah Al- Mutawassithah, pendiri  aliran  ini adalah Al- Husein  Ibnu Muhammad an- najjar (230 H) dan Ia termasuk tokoh Mu’tazilah  yang paling banyak  menggunakan ratio yakni menetapkan adanya Qudrat pada manusia tetapi Qudrat tersebut tidak mempunyai efek atas perbuatan.
Menurut Najjar dan dirar, bahwah tuhanlah yang menciptakan  perbuatan manusia baik  perbuatan itu positif maupun Negatif.  Tetapi dalam perbuatan  itu manusia mempunyai bagian. Daya yang diciptakan dalam diri manusia  oleh Tuhan, mempunyai efek .sehingga manusia mampu  melakukan perbuatan-perbuatan inilah  yang di sebut Kasb  atau acquisition.
An-Najjar juga berkata : Tuhan hanya berkehendak dengan  zat-Nya,  Juga Tuhan mengetahui dengan zat-Nya . karena itu taalluqnya menyeluruh Allah menghendaki baik dan buruk  bermanfaat dan mudharat. Dan katanya  Yang dimaksud  Allah berkehendak disini bahwah Alla tidak tidak dipaksa dan tidak terpaksa. Katanya : Allah menciptakan semua  baik dan buruk   dan manusia hanya merencana. Dia pun mengakui adanya Kasab(usaha)  pada manusia, seperti pendapat Al-Asy’ari sependapat tentang   istitithah.
a) Mengenai Ru’yah yakni melihat zat  Allah  di akhirat ditolaknya, baik dengan mata kepala  atau lainnya. Akan  tetapi,   An-Najjar  menyatakan bahwa Tuhan dapat memindahkan  potensi  hati (makrifat) pada mata sehingga mata dapat melihat Tuhan.
b) Tuhan menciptakan  segala perbuatan manusia  tetapi  manusia yang mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan pebuatan-perbuatan itu.  Inilah yang disebut Kasab dala teori Al-Asy’ari. Dengan demikian  manusia dalam pandangan Najjar  tidak lagi seperti wayang  yang gerakannya bergantung pada dalang. Sebab  tenaga  yang dicipitkan Tuhan dalam manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Al-kabi juga mengutip ucapan  An-Najjar Yang   mengatakan : Tuhan berada di setiap tempat sebagai Zat dan wujud karena kalau tidak demikian tidak ada artinya  sifat fi‘li (sifat ) dan qudrah.  Katanya mengenai akal  sebelum turun  wahyu mengenal Allah dengan Akal. Iman menurutnya  hanya tasdhiq. Siapa yang meninggal setelah  mengerjakan  dosa besar tanpa bertobat ia dihukum karenanya. Namun ia akan dikeluarkan  juga dari neraka, karena tidak adil menyamakannya  dengan orang kafir yang memang kekal didalamnya.
d)     Ad-Dhirariyyah
Pendirinya adalah  Dhirar ibn  ‘amr dan Hafshul al- fard. Keduanya sepakat  adanya sifat Allah, namun keduanya berkata: Allah maha mengetahui dan maha kuasa  maksudnya tidak jahil dan tidak lemah. Dan mereka mengakui  bahwah Allah adalah zat yang hakikatnya tidak diketahui, melainkan Allah sajalah yang tahu, katanya  pendapat ini dikutip dari Abu hanifah dan rekan-rekannya.  Dan  yang dimaksud  Allah mengetahui Zat-nya tanpa  melalui pembuktian  dan dalil.
Mereka berdua mengakui adanya indra keenam  yang dimiliki manusia  dengan hari itu ia melihat Tuhan di hari pembalasan  segala amal kebajikannya di dalam surga.  Serta meyakini    bahwa  pada hakikatnya perbuatan manusia  adalah ciptaan Allah Swt.namun manusia yang memprgunakannya, dan dapat terjadi satu perbuatan dari dua pelaku. Katanya sumber ajaran islam  setelah masa  Rasulullah hanya ijma’ dan ajaran yang diperoleh dari dhirar bahwa ia menolak Qiroat Ibn Mas’ud da Ubay bi ka’ab yang katanya bacaan seperti itu tidak perna diturunkan  Allah  Ta’ala.
Dhira  dalam kesempatan lain juga pernah berpandangan mengenai kepemimpinan boleh saja bukan  suku Quraisy namun apabilah keturunan  Rasulullah  yang lebih pantas di utamakan  keturunan  Rasulullah dengan alasan  bahwa jumlah keturunan  itu sedikit.   Melalui cara ini akan  mudah memberhentikan  apabila tindakannya  bertentantangan dengan syariat islam. Dan megenai ru’yatullah  di akhirat , Dhirar mengatakan  bahwa Tuhan  dapat dilihat diakhirat melalui “indera keenam”
2.      Doktrin aliran Qadariyah
Segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatannya. Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan akhir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-quran adalah sunatullah.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berubah lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah yang mampu membawa barang beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif.
Demikian pula anggota tubuh lainnya yang dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu, dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut lepas. Demikian juga manusia yang dapat membuat benda lain yang bisa membantunya membawa barang seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia.


D. Sekte-Sekte Jabariyyah dan Qadariyyah
1. Sekte-sekte Aliran Jabariyah
Dalam aliran ini ajarannya dibedakan menjadi dua aliran, yaitu: Jabariyah   ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya, bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan neraka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak. Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Al-quran dan Al-quran merupakan makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimiliki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari skenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-najar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) berpendapat:
1. Satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbukan oleh Tuhan tetapi juga oleh manusia itu sendiri.
2. Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat Dhirar mengatakan Tuhan dapat dilihat melalui indra keenam, ia juga brpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah ijtihad.
b.   Sekte-sekte aliran Qadariyah
Segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatannya. Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan akhir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-quran adalah sunatullah.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berubah lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah yang mampu membawa barang beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif.
Demikian pula anggota tubuh lainnya yang dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu, dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut lepas. Demikian juga manusia yang dapat membuat benda lain yang bisa membantunya membawa barang seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia.






BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Istilah jabariyyah dapat diartikan  pula menolak  adanya  perbuatan dari manusia  dan menyandarkan  semua  perbuatan kepada  Allah  berdasarkan  pengertian  bahwa  segala sesuatu didahului oleh Ilmu Allah  dan tidak ada sesuatu yang didahului oleh ilmu Allah,  jabariyyah ada dua  bentuk: pertama  jabariyyah murni, yang disebut  juga  Al-jahmiyyah,  yang menolak adanya perbuatan  berasal dari manusia  dan memandang  manusia tidak  mempunyai  kemampuan  untuk berbuat . Kedua , Jabariyyah pertengahan  yang moderat yang disebut juga An-Najariyyah, yang mengakui adanya perbuatan dari manusia  namun perbuatan manusia tidak membatasi. Orang yang mengaku adanya  perbuatan  dari makhluk ini mereka namakan “Kasab” bukan termasuk  Jabariyyah. Sedangkan pengikut Qadariyyah  menganggap manusia memilik kebebasan untuk berkehendak dalam perbuatan tanpa adanya campur tangan Tuhan.  Jadi muncullah  teori ketiga  yang menyingkap bahwa “kontradiksi”   tersebut hanya merupakan  akibat pemahaman  yang keliru  semata-mata. Kita dapat mengatakan bahwa hakikatnya tidak ada kontradiksi  dalam al-Qur’an  yang memaksa kita  mengartikan  beberapa ayat berlawanan dengan  arti lahirnya  atau menakwilkannya. 
Solusi terhadap pandangan aliran Jabariyah dan Qadariyah yaitu bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir yang telah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Allah, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah Allah SWT. Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah yang begitu lemah tetap bisa diberlakukan seecara temporal, terutama dalam langkah awal menyampaikan dakwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai golongan Islam yang masih memerlukan pengayoman. Disamping itu pendapat-pendapat Jabariyah sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrat dan iradat Allah SWT ditambah pula dengan sifat wahdaniyat-Nya.
Sementara bagi Qadariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan, kekufuran, ketaatan, dan juga ketidaktaatan.
Sebagai penutup dalam makalah ini, kedua aliran, baik Jabariyah maupun Qadariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sma-sama berpegang pada Al-quran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.
















DAFTAR PUSTAKA
Aziz Dahlan,  Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam.1987. Jakarta Beunebi cipta
Basri, Hasan. Dkk. 2006. Ilmu Kalam. Bandung. Azkia Pustaka Utama
Rozak, Abdul. Rosihon Anwar. 2007. Ilmu Kalam. Bandung. Pustaka Setia
http//:dokumen community Qadariyah Dan Jabariyah.htm