MAKALAH
JABARIYAH
DAN QADARIYAH
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah Ilmu Tauhid
yang dibina oleh :
H.
Yana Sutiana, M.Ag
Disusun oleh Kelompok 4 :
Agnia ulfiah
Anellia putri
Anggiani dyah chandra
Asep Rahman
Bella saftariani
Cef Aziz Muslim
Cepy Wildan Anwar
|
1133070006
1133070023
1133070021
1133070027
1133070035
1133070037
1133070039
|
MANAJEMEN
KEUANGAN SYARIAH I
A
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rohmat, taufik, hidayah serta inayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini yaitu membuat makalah dengan judul “Jabariyah dan
Qadariyah” yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tauhid.
Pada kesempatan ini tidak lupa kami sampaikan terima kasih
kepada Bapak Yana Sutiana selaku dosen “Ilmu Tauhid” yang telah memberikan
tugas yang bermanfaat kepada kami. Terima kasih kepada seluruh pihak yang
mendukung penyelesaian makalah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
jauh dari sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan
saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak guna kesempurnaan
makalah berikutnya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
A. Latar
Belakang .........................................................................................
B. Rumusan
Masalah ....................................................................................
C. Tujuan .......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................
A. Pengertian
Jabariyyah dan Qadariyyah.....................................................
B. Latar
Belakang Kemunculan Jabariyyah dan Qadariyyah .......................
C. Doktrin-Doktrin
Jabariyyah dan Qadariyyah ...........................................
D. Sekte-Sekte
Jabariyyah dan Qadariyyah ..................................................
BAB III PENUTUP .....................................................................................
A. Kesimpulan ...............................................................................................
B. Saran .........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembahasan
ilmu kalam sebagai hasil pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman
Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak
mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran
pemahaman, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan
tenteram. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak
ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena
terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut
Islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki
kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imānī mulai dipertanyakan dan
dianalisa.
Al-Syahrastānī
menyebutkan beberapa prinsip yang merupakan dasar bagi pembagian aliran teologi
dalam Islam. Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ‘ilmu al-kalām
yakni berkenaan dengan qadar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama kalam
membicarakan masalah qada’ dan qadar, dan hal itu mendorong mereka untuk
membicarakan asas taklif, pahala dan siksa, mereka pun berselisih dalam
menentukan fungsi perbuatan manusia.
B. Rumusan Masalah
Agar
pembahasan makalah terarah dan tidak adanya kesalahan interpretasi, maka
penulis membatasi masalah yang diteliti sabagai berikut :
1. Apa
Pengertian Jabariyyah dan Qadariyyah?
2. Bagaimanakah
latar belakang kemunculan
Jabariyyah dan Qadariyyah ?
3. Bagaimana
doktrin-doktrin Jabariyyah dan Qadariyyah?
4. Bagaimana
Sekte-sekte Jabariyyah dan Qadariyyah?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui Pengertian
Jabariyyah dan Qadariyyah
2.
Untuk mengetahui Latar Belakang
kemunculan dari Jabariyyah dan Qadariyyah.
3.
Untuk mengetahui Doktrin-doktrin
dari Jabariyyah dan Qadariyyah.
4.
Untuk mengetahui Sekte-sekte dari
Jabariyyah dan Qadariyyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Jabariyyah dan Qadariyyah
Istilah
Qadariyah mengandung dua arti, pertama, orang-orang yang memandang manusia
berkuasa atas perbuatannya dan bebas untuk berbuat. Dalam arti ini Qadariyah
berasal dari kata qadara artinya berkuasa. Kedua, orang-orang yang memandang
nasib manusia telah ditentukan aleh azal. Dengan demikian, qadara di sini
berarti menentukan, yaitu ketentuan Tuhan atau nasib.
Qadariyah
adalah satu aliran dalam teologi Islam yang berpendirian bahwa manusia memiliki
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia
mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri intuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya ,
dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar
Tuhan. Dalam istilah inggris paham ini dikenal dengan nama free will dan free
act.
Dengan paham
tersebut, mereka beranggapan bahwa setiap aktifitas manusia adalah semata-mata
keinginannya sendiri, yang terlepas dari kehendak Allah. Di antara mereka ada
yang sangat ekstrim setingkat meniadakan qadar atau ketetapan Allah yang azali
atas segala sesuatu sebelum terjadi. Sehingga setiap pekerjaan berasal dari
manusia sendiri, tidak bisa disandarkan pada Allah baik dari segi penciptaan
maupun penetapan. Menurut mereka manusia bebas dan bisa memilih apa saja yang
akan dikerjakan atau ditinggalkan, tidak ada seorang pun yang memiliki kuasa
atas kemauannya , dia bisa berpindah kapan pun dia mau, dia bisa beriman atau
kafir jika mau dan mengerjakan apa saja yang diinginkannya. Karena kalau tidak,
maka dia bagaikan sebuah alat atau seperti halnya dengan benda-benda mati
lainnya. Sehingga asas taklif atau pemberian tanggung jawab, pemberian pahala
dan siksa tidak ada gunanya. Dengan perkataan lain, mereka berpendapat manusia
itu bebas menentukan diri sendiri memilih beramal baik dan buruk, karena mereka
harus memikul resiko, dosa kalau berbuat munkar dan berpahala jika berbuat baik
dan taat.
Sedangkan
nama Jabariyah berasal dari kata Arab jabara yang berarti alzama hu bi fi’lih,
yaitu berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya. Manusia tidak mempunyai
kemampuan dan kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu
perbuatan. Sebaliknya ia terpaksa melakukan kehendak atau perbuatannya
sebagaimana telah ditetapkan Tuhan sejak zaman azali. Dalam filsafat Barat
aliran ini desebut Fatalism atau Predestination.
Paham
Jabariyah ini berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan yang berlaku bagi segenap
alam semesta ini, tidaklah memberi ruang atau peluang bagi adanya kebebasan
manusia untuk berkehendak dan berbuat menurut kehendaknya. Paham ini menganggap
semua takdir itu dari Allah. Oleh karena itu menurut mereka, seseorang menjadi
kafir atau muslim adalah atas kehendak Allah.
B.
Latar
Belakang Kemunculan
Munculnya
kedua paham ini tetap mempunyai kaitan dengan aliran-aliran Kalam sebelumnya
yakni Khawārij dan Murji’ah, sementara itu muncul dalam sejarah teologi Islam
seorang bernama Washil bin ‘Atha’ yang lahir di Madinah di tahun 700 M dan
mendirikan aliran teologi baru yang berbeda dengan kedua aliran teologi
sebelumnya yang dikenal dengan nama Mu’tazilah. Pada masa inilah umat Islam
telah banyak mempunyai kontak dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran-pemikiran
dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sebagai akibat dari kontak
ini masuklah ke dalam Islam paham Qadariyah (free will dan free act) dan paham
Jabariyah atau fatalisme.
Tak dapat
diketahui dengan pasti kapan paham Qadariyah ini timbul dalam sejarah
perkembangan teologi Islam. Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi Islam,
bahwa golongan ini dimunculkan pertama kali dalam Islam oleh Ma’bad al-Juhany
di Bashrah. Dikatakan bahwa yang pertama kali berbicara dan berdebat masalah
qadar adalah seorang Nasrani yang masuk Islam di Irak. Kemudian darinyalah
paham ini diambil oleh Ma’bad al-Juhany dan temannya Ghailān al-Dimasyqi.
Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua setelah Nabi. Tetapi ia memasuki
lapangan politik dan memihak ‘Abd al-Rahmān Ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan,
dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Ma’bad al-Juhany akhirnya mati terbunuh
dalam pertempuran melawan al-Hajjaj tahun 80 H.
Paham
Qadariyah yang muncul sekitar tahun 70 H (689 M) ini memiliki ajaran yang sama
dengan Mu’tazilah. Yaitu bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan atau
perbuatannya sendiri. Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu,
dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar. Ma’bad
al-Juhany sebagai tokoh utama paham Qadariyah yang menyebarkan paham Qadariyah
di Irak ini juga berguru dengan Hasan al-Bashri yang juga merupakan guru Wāshil
bin ‘Atha’ pendiri aliran Mu’tazilah.
Paham free will dan free act
beranggapan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak (qudrah) dan
memilih atau berkehendak (irādah). Dia yang melekukan, dia pula yang
bertanggung jawab di hadapan Allah. Dari segi politik, Qadariyah merupakan
tantangan bagi dinasti Bani Umayyah, sebab dengan paham yang disebarluaskannya
dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham itu maka setiap tindakan bani
Umayyah yang negatif, akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Karena
kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan
Bani Umayyah, walaupun ditekan terus oleh pemerintahan tetapi ia tetap
berkembang. Paham ini tertampung dalam madzhab Mu’tazilah.
Sepeninggal Ma’bad al-Juhany,
Ghailān al-Dimasyqi sendiri terus menyiarkan paham Qadariyahnya di Damaskus,
tetapi di sana dia mendapat tekanan dari Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azīz
(717-720 M). Setelah ‘Umar wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama, hingga
akhirnya ia mati dihukum oleh Hisyam bin ‘Abdul malik (724-743 M/105-125 H).
Ghailān mengembangkan ajaran Qadariyah sempai ke Iran.
Adapun
aliran sebaliknya, yaitu dikenal dengan paham Jabariyah sebagai antitesa dari
paham Qadariyah. Paham Jabariyah ini lahir bersamaan dengan dikembangkannya
paham Qadariyah oleh pengikut-pengikutnya setelah kedua tokoh paham free will
ini wafat. Di dalam buku Sarh al-‘Uyūn dikatakan bahwa paham Jabariyah ini
berakar dari orang-orang Yahudi di Syām, lalu mereka mengajarkannya kepada
sebagian orang muslim saat itu, setelah mempelajarinya kemudian mereka
menyebarkannya. Tetapi perkataan ini tidak berarti bahwa paham ini semata-mata
berakar dari Yahudi saja, karena orang Persia juga telah mengenal pemikiran
tersebut sebelumnya.
Golongan
muslim yang pertama kali memperkenalkan paham Jabariyah ini adalah al-Ja’d bin
Dirham, tetapi waktu itu belum begitu berkembang. Kemudian Jahm bin Shafwān
dari Khurāsān mempelajari paham ini dari al-Ja’d bin Dirham yang kemudian
menyebar luaskannya. Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama dengan
Jahm yang mendirikan aliran al-Jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah. Sehingga
paham Jabariyah juga identik dengan sebutan Jahmiyyah
karena berkembang setelah disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwān. Sebagai
sekretaris Syurayh ibn al-Hārits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani
Umayyah. Dalam perlawanan tersebut Jahm ditangkap dan dihukum mati tahun 131H.
Perbedaan
pandangan dan persepsi kedua paham ini juga dipergunakan oleh budaya politik
sesuatu tempat dan keadaan. Golongan Murji’ah menganggap bahwa penderitaan
rakyat di satu pihak dan kekejaman penguasa di pihak lain itu adalah sudah
takdirnya demikian, seperti dinyatakan oleh Yāzid bin Mu’āwiyah waktu dia
menerima kepala Sayidinā Husain bin ‘Abi Thālib dibawa kepadanya dia berkata
dan langsung menyitir ayat alquran QS. Ali ‘Imrān(3) ayat 26. Dengan
mengemukakan ayat ini, Yāzid bermaksud mengatakan bahwa apa yang diderita oleh
Husain bin ‘Ali yang dibunuh dengan kejam oleh serdadu Yāzid bin Mu’āwiyah dari
dinasti Umayyah itu, adalah sudah kehendak Tuhan, bukan kehendak Yāzid dan
serdadunya. Agar umat yang mendukung Husain tidak marah atau dendam, karena itu
“takdir” Tuhan semata-mata. Inilah ajaran Murji’ah yang sangat laku, di negeri
yang dikuasai diktator despoot dan tirani. Hal ini ditentang oleh golongan
Qadariyah, karena mereka menganggap bahwa tirani kekejaman dan penindasan oleh
manusia atas manusia itu harus dilawan karena bertentangan dengan hukum Tuhan.
Dan penguasa yang tiran harus ditumbangkan, karena Allah tidak akan mengubah
suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
C. Doktrin-doktrin Jabariyyah dan Qadariyyah
1. Doktrin Ajaran Jabariyyah
Menurut Asy-
Syahrastani, Jabariyyah itu dapat dikelompokkan kedalam dua bagian
Yaitu ekstrem (segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan yang dipaksakan atas
dirinya. Misalnya mencuri, perbuatan mencuri itu bukan terjadi atas
kehendak sendiri melainkan karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki
demikian dan moderat.
a)
Al-Jahmiyah
Aliran
jabariyyah oleh Al- Syahrastani menyebutnya dengan istilah sebut
al-jabariyyah al khalish. Pendirinya adalah Jahm Ibn shafwan (124 H).
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shofwan. Ia berasal dari
Khurasan dan bertempat tinggal di Kufah. Ia seorang dai yang fasih dan lincah
(orator) yang termasuk seorang mawali yang menentang pemerintah bani Umayyah,
ia ditawan kemudian di bunuh oleh Muslim Ibn ahwas almazini pada akhir dinasti
khalifah bani Umayyah. Alirannya ini tersebar di Tirmiz dan di Balk.
Dia
dianggap sebagai pengikut jabariyyah murni. Aliran Jahmiyyah ini
tidak menetapkan perbuatan atau kekuasaan sedikitpun. Seluruh tindakbahan
tidak boleh terlepas dari aturan, skenario dan kehendak Tuhan. Segala akibat
baik atau buruk yang diterima oleh manusia perjalanan
hidupnya adalah merupakan ketentuan dari Allah SWT. Namun ada
kecenderungan bahwa Tuhan lebih memperlihatkan sikapnya yang
mutlak /absolut dan berbuat sekehendak-Nya. Hal inilah bisa menimbulkan
kesan seolah-olah Allah tidak adil jika ia menyiksa orang-orang
yang berbuat dosa yang dilakukan orang itu terjadi atas Tuhan. Berikut
doktrin ajarannya:
1) Menurut
jaham bin ahwas manusia dalam paham jabariyyah sangat
lemah tidak berdaya .terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana yang dimiliki oleh
paham jabariyyah. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan lebih terkenal
dibandingkan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep Iman, kalam
tuhan, meniadakan sifat Tuhan ( Nafyu as-Sifat) dan melihat
Tuhan di akhirat.
2) Surga
dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3)
Iman dan ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
Dalam hal ini pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan
oleh Murji’ah.
4) kalam Tuhan adalah Makhluk. Allah
Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan Manusia, sperti berbicara, mendengar,
dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indra mata
diakhirat kelak.
Dengan demikian
dalam beberapa hal,Jahm berpendapat serupa dengan Murjiah,Mu’tazilah dan
Asy’ariah sehingga para pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan
Al-Mu’tazili,Al-Murji’idan Al-Asy’ari.
b)
Ja’d bin Dirham
Ja’d
adalah seorang maulana Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan dalam
lingkungan orang Kristen yang senang membicaraka teologi. Dan telah
dipercaya mengajar dilingkungan Bani Umayyah namun setelah
pikirannya-pikirannya yang kontraversial terlihat Bani Umayyah menolaknya.
Kemudian dia pergi ke Kufah dan bertemu dengan jahm, yang
akhirnya berhasil mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk
dikembangkan dan di sebarluaskan. Doktrin ja’d secara umum sama dengan Jahm.
Al Ghurabi menjelaskannya sebagai berikut.
a) Al-Qur’an itu makhluk. Oleh karena itu, dia baru (huduts),
Sesuatu yang baru tidak dapat disifatkan kepada Allah SWT.
b) Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk,
seperti berbicara, melihat dan mendengar.
c) Manusia terpaksa oleh Allah
dalam segala-galanya. Manusia bagaikan selembar bulu yang diterbangkan angin,
mengikuti takdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang
diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati.
d) Tidak mengakui adanya sebab akibat diantara segala sesuatu
terutama manusia dan perbuatanya serta kepribadiannya secara spiritual
dan moral. Entah masa depannya bahagia atau sengsara.
c)
An-Najariyyah
Pendiri
aliran ini diberi istilah yaitu al-jabariyyah Al-
Mutawassithah, pendiri aliran ini adalah Al- Husein Ibnu
Muhammad an- najjar (230 H) dan Ia termasuk tokoh Mu’tazilah yang paling
banyak menggunakan ratio yakni menetapkan adanya Qudrat pada
manusia tetapi Qudrat tersebut tidak mempunyai efek atas perbuatan.
Menurut Najjar
dan dirar, bahwah tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia baik
perbuatan itu positif maupun Negatif. Tetapi dalam perbuatan itu
manusia mempunyai bagian. Daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh
Tuhan, mempunyai efek .sehingga manusia mampu melakukan
perbuatan-perbuatan inilah yang di sebut Kasb atau acquisition.
An-Najjar juga
berkata : Tuhan hanya berkehendak dengan zat-Nya, Juga Tuhan
mengetahui dengan zat-Nya . karena itu taalluqnya menyeluruh Allah menghendaki
baik dan buruk bermanfaat dan mudharat. Dan katanya Yang
dimaksud Allah berkehendak disini bahwah Alla tidak tidak dipaksa dan
tidak terpaksa. Katanya : Allah menciptakan semua baik dan
buruk dan manusia hanya merencana. Dia pun mengakui adanya
Kasab(usaha) pada manusia, seperti pendapat Al-Asy’ari sependapat
tentang istitithah.
a) Mengenai Ru’yah yakni melihat
zat Allah di akhirat ditolaknya, baik dengan mata kepala atau
lainnya. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan
dapat memindahkan potensi hati (makrifat) pada mata sehingga mata
dapat melihat Tuhan.
b) Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia
tetapi manusia yang mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan
pebuatan-perbuatan itu. Inilah yang disebut Kasab dala teori Al-Asy’ari.
Dengan demikian manusia dalam pandangan Najjar tidak lagi seperti
wayang yang gerakannya bergantung pada dalang. Sebab tenaga
yang dicipitkan Tuhan dalam manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Al-kabi juga
mengutip ucapan An-Najjar Yang mengatakan : Tuhan berada di
setiap tempat sebagai Zat dan wujud karena kalau tidak demikian tidak ada
artinya sifat fi‘li (sifat ) dan qudrah. Katanya mengenai
akal sebelum turun wahyu mengenal Allah dengan Akal. Iman
menurutnya hanya tasdhiq. Siapa yang meninggal setelah
mengerjakan dosa besar tanpa bertobat ia dihukum karenanya. Namun ia akan
dikeluarkan juga dari neraka, karena tidak adil menyamakannya
dengan orang kafir yang memang kekal didalamnya.
d)
Ad-Dhirariyyah
Pendirinya
adalah Dhirar ibn ‘amr dan Hafshul al- fard. Keduanya sepakat
adanya sifat Allah, namun keduanya berkata: Allah maha mengetahui dan maha
kuasa maksudnya tidak jahil dan tidak lemah. Dan mereka mengakui
bahwah Allah adalah zat yang hakikatnya tidak diketahui, melainkan Allah
sajalah yang tahu, katanya pendapat ini dikutip dari Abu hanifah dan
rekan-rekannya. Dan yang dimaksud Allah mengetahui Zat-nya
tanpa melalui pembuktian dan dalil.
Mereka berdua
mengakui adanya indra keenam yang dimiliki manusia dengan hari itu
ia melihat Tuhan di hari pembalasan segala amal kebajikannya di dalam
surga. Serta meyakini bahwa pada hakikatnya
perbuatan manusia adalah ciptaan Allah Swt.namun manusia yang
memprgunakannya, dan dapat terjadi satu perbuatan dari dua pelaku. Katanya
sumber ajaran islam setelah masa Rasulullah hanya ijma’ dan ajaran
yang diperoleh dari dhirar bahwa ia menolak Qiroat Ibn Mas’ud da Ubay bi ka’ab
yang katanya bacaan seperti itu tidak perna diturunkan Allah Ta’ala.
Dhira
dalam kesempatan lain juga pernah berpandangan mengenai kepemimpinan boleh saja
bukan suku Quraisy namun apabilah keturunan Rasulullah yang
lebih pantas di utamakan keturunan Rasulullah dengan alasan
bahwa jumlah keturunan itu sedikit. Melalui cara ini
akan mudah memberhentikan apabila tindakannya bertentantangan
dengan syariat islam. Dan megenai ru’yatullah di akhirat , Dhirar
mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui “indera
keenam”
2.
Doktrin aliran
Qadariyah
Segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatannya.
Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan
pribadinya sendiri, bukan akhir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima
siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan
kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandang Qadariyah
bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu,
yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih
dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib
yang telah di tentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah,
takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta
seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-quran adalah
sunatullah.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia
telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya
tidak dapat berubah lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia
ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang
dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah
yang mampu membawa barang beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan
mempunyai daya pikir yang kreatif.
Demikian pula anggota tubuh lainnya yang dapat berlatih
sehingga dapat tampil membuat sesuatu, dengan daya pikir yang kreatif dan
anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa yang
dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut lepas. Demikian juga
manusia yang dapat membuat benda lain yang bisa membantunya membawa barang
seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat
semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia.
D. Sekte-Sekte
Jabariyyah dan Qadariyyah
1. Sekte-sekte Aliran Jabariyah
Dalam aliran ini ajarannya dibedakan
menjadi dua aliran, yaitu: Jabariyah ekstrim
dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya,
bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang
keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga
dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan
di akherat. Surga dan neraka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan
iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal
ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah
makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara,
mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di
akhirat kelak. Aliran ini dikenal juga dengan nama
al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang
ajaran pokok dari Jabariyah adalah Al-quran dan Al-quran merupakan makhluk dan
sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak
mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan
mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang
ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan
dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana
dimiliki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak
boleh lepas dari skenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk
yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan
Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia,
baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya.
Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang
dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi
manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti
ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di
akhirat. Akan tetapi, An-najar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan
potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) berpendapat:
1. Satu perbuatan dapat ditimbulkan
oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya
ditimbukan oleh Tuhan tetapi juga oleh manusia itu sendiri.
2. Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat
Dhirar mengatakan Tuhan dapat dilihat melalui indra keenam, ia juga brpendapat
bahwa hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah ijtihad.
b. Sekte-sekte aliran
Qadariyah
Segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatannya.
Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan
pribadinya sendiri, bukan akhir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima
siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan
kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang
umum di pakai bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib
manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya,
manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan sejak azali
terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah yang di
ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum
yang dalam istilah Al-quran adalah sunatullah.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia
telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya
tidak dapat berubah lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia
ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang
dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah
yang mampu membawa barang beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan
mempunyai daya pikir yang kreatif.
Demikian pula anggota tubuh lainnya yang
dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu, dengan daya pikir yang
kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa
yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut lepas. Demikian
juga manusia yang dapat membuat benda lain yang bisa membantunya membawa barang
seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat
semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Istilah jabariyyah dapat diartikan pula
menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan
semua perbuatan kepada Allah berdasarkan
pengertian bahwa segala sesuatu didahului oleh Ilmu Allah dan
tidak ada sesuatu yang didahului oleh ilmu Allah, jabariyyah ada
dua bentuk: pertama jabariyyah murni, yang disebut
juga Al-jahmiyyah, yang menolak adanya perbuatan
berasal dari manusia dan memandang manusia tidak
mempunyai kemampuan untuk berbuat . Kedua , Jabariyyah
pertengahan yang moderat yang disebut juga An-Najariyyah, yang mengakui
adanya perbuatan dari manusia namun perbuatan manusia tidak membatasi.
Orang yang mengaku adanya perbuatan dari makhluk ini mereka namakan
“Kasab” bukan termasuk Jabariyyah. Sedangkan
pengikut Qadariyyah menganggap manusia memilik kebebasan untuk
berkehendak dalam perbuatan tanpa adanya campur tangan Tuhan. Jadi
muncullah teori ketiga yang menyingkap bahwa
“kontradiksi” tersebut hanya merupakan akibat pemahaman
yang keliru semata-mata. Kita dapat mengatakan bahwa hakikatnya tidak ada
kontradiksi dalam al-Qur’an yang memaksa kita
mengartikan beberapa ayat berlawanan dengan arti lahirnya
atau menakwilkannya.
Solusi terhadap pandangan aliran Jabariyah dan Qadariyah yaitu bahwa
manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan
dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan
tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir yang telah ditentukan. Dengan
kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur
tangan Allah, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela
tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat
adalah Allah SWT. Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah yang begitu
lemah tetap bisa diberlakukan seecara temporal, terutama dalam langkah awal
menyampaikan dakwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai golongan Islam yang
masih memerlukan pengayoman. Disamping itu pendapat-pendapat Jabariyah
sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrat dan iradat Allah SWT
ditambah pula dengan sifat wahdaniyat-Nya.
Sementara bagi Qadariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan,
keimanan, kekufuran, ketaatan, dan juga ketidaktaatan.
Sebagai penutup dalam makalah ini, kedua aliran, baik Jabariyah maupun
Qadariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun
mereka sma-sama berpegang pada Al-quran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya
kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan
Pemikiran dalam Islam.1987. Jakarta Beunebi cipta
Basri,
Hasan. Dkk. 2006. Ilmu Kalam.
Bandung. Azkia Pustaka Utama
Rozak,
Abdul. Rosihon Anwar. 2007. Ilmu Kalam. Bandung.
Pustaka Setia
http//:dokumen community Qadariyah
Dan Jabariyah.htm